ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Kematian SOEKARNO
Tak Seindah Jasanya Memerdekakan Negeri Ini....
Tak lama setelah misi tidak percaya Parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Soeharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam.
Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang
pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak
bersahabat lagi. "Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu
dua hari dari sekarang!".
Bung Karno pergi ke ruang makan dan
melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. "Mana kakak-kakakmu"
kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata "Mereka
pergi ke rumah Ibu".
Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah
Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi
"Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu
persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu
punya negara". Kata Bung Karno,
lalu Bung Karno melangkah ke
arah ruang tamu Istana disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya
yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan karena para ajudan
bung karno sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. "Aku sudah
tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun,
Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.
Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi "Kenapa bapak tidak
melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan..." Salah satu ajudan
separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno.
"Kalian tau
apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit
jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita.
Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan
wajahmu...keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek
dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara". tegas bung karno
kepada ajudannya.
Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian
saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. "Pak kami memang
tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi,
belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak
dari biasanya".
Bung Karno tertawa "Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa..."
Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang
perwira suruhan Orde Baru. "Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat
ini". Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai
ke ruang makan.
Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan
senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar,
dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan
diambil oleh tentara.
Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus
bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong,
Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa
perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar.
Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Maulwi Saelan ( pengawal terakhir bung karno ) dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan.
"Aku pergi dulu" kata Bung Karno dengan terburu-buru. "Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak" Saelan separuh berteriak.
Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW
Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir
diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.
Di rumah
Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman,
matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno
kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman.
Kadang-kadang
ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang
biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana
dibuangi.
Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama
Nitri gadis Bali untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno
kepengen duku tapi dia tidak punya uang. "Aku pengen duku, ...Tri, Sing
Ngelah Pis, aku tidak punya uang" Nitri yang uangnya pas-pasan juga
melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo.
Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata "Pak Bawa dukunya ke orang
yang ada di dalam mobil". Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah
Bung Karno. "Mau pilih mana, Pak manis-manis nih " sahut tukang duku
dengan logat betawi kental.
Bung Karno dengan tersenyum senang
berkata "coba kamu cari yang enak". Tukang Duku itu mengernyitkan
dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu
berteriak "Bapak...Bapak....Bapak...Itu Bapak...Bapaak" Tukang duku
malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan" Ada Pak Karno,
Ada Pak Karno...." mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih
itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada
Bung Karno.
Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa
menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran
Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas
digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. "Tri, berangkat
....cepat" perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya
yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan
air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.
Mengetahui
bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa
perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke
rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia
dirawat oleh Dokter Hewan!...
Bung Karno lalu dibawa ke Wisma
Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama
sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak
bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja
menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung
direbut dan ia dimarahi.
Kamar Bung Karno berantakan sekali,
jorok dan bau. Memang ada yang merapikan tapi tidak serius. Dokter yang
diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis
karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno.
Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas
perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar Mardjono hanya bisa memberikan
Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit
tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat
untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.
Bahkan
ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung
Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno
menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.
Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk
menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah
datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak.
Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung
berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka
berteriak "Hidup Bung Karno....hidup Bung Karno....Hidup Bung
Karno...!!!!!"
Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah
sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang
bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit
ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau.
Ia
berteriak " Sakit....Sakit ya Allah...Sakit..." tapi tentara pengawal
diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada
satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu
kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air
mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.
Hatta
yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam
cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil
menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada
isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno.
"Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik" ujar istri bung hatta.
Hatta menoleh pada isterinya dan berkata "Sukarno adalah orang
terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam
suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan
diantara kami itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno
disakiti seperti ini".
Hatta menulis surat dengan nada tegas
kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung
disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.
Hatta datang
sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya
tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta
terdiam dan berkata pelan "Bagaimana kabarmu, No" kata Hatta ia tercekat
mata Hatta sudah basah.
Bung Karno berkata pelan dan tangannya
berusaha meraih lengan Hatta "Hoe gaat het met Jou?" kata Bung Karno
dalam bahasa Belanda - Bagaimana pula kabarmu, Hatta - Hatta memegang
lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta
mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil.
Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan
jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa
ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang
menyesakkan dada.
Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno
meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar
untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga
seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.
Selamat Jalan Bapak.......
Sumber : FB Ahmad Yasin.
Baca Juga : ((VIRRALL)) Ada 3 hal yg Allah Tutup Dari Kita Sehingga Orang Menghargai Kita
0 Response to "MIRIS...INILAH YANG DIALAMI PROKLAMATOR KEMERDEKAAN RI SEBELUM WAFAT..BELUM BANYAK YANG MENGETAHUINYA..!!!"
Post a Comment